Jumat, 28 Februari 2014

Dukung RUU Jaminan Produk Halal Menjadi UU

Dukung RUU Jaminan Produk Halal Menjadi UU



Bagi orang Islam, ketika ia mengkonsumsumsi barang halal maka itu akan lebih menjamin kesehatan daripada memakan barang yang tidak jelas kehalalannya apalagi yang terbukti haram. Keyakinan seperti ini menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang yang menyatakan beriman.

Alloh SWT berfirman : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah setan karena setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 168). Tentu ketika Alloh SWT memerintahkan yang demikian, Alloh bermaksud menjaga manusia dari kerusakan yang diakibatkan oleh makanan haram.

Dr. S.Liebig, salah seorang professor ilmu gizi di Inggris menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa memakan daging binatang buas akan menyebabkan seseorang menjadi lebih pemarah dan emosional dari sebelumnya (sumber : Diterjemahkan dari " الإعجاز العلمي في الإسلام والسنة النبوية " karya Muhammad Kamil ‘Abdush Shomad, oleh www.alsofwah.or.id/). Dalam Islam binatang buas diharamkan untuk dimakan.

Begitu pula tentang babi, babi mengandung cacing pita (Taenia solium) yang sangat berbahaya dan juga Lemak babi dengan kolesterol paling tinggi dibandingkan dengan lemak hewan lainnya. 

Sangat jelas dan meyakinkan bahwa ketetapan Alloh tentang halal dan haram pasti berkaitan dengan kemaslahatan manusia, baik dari sisi kesehatan maupun yang lain. Sehingga sangatlah penting adanya kepastian tentang kehalalan makanan.

Saat ini sedang dirumuskan RUU jaminan produk halal yang akan mengatur regulasi tentang status kehalalan makanan dan obat-obatan serta implikasi hukumnya. Tentu hal ini harus didukung oleh seluruh masyarakat agar mereka mendapatkan jaminan yang benar tentang kehalalan sebuah produk.

Namun sangat disayangkan beberapa pihak terkesan menghalangi proses penetapan RUU Jaminan Produk Halal ini menjadi UU. Bahkan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mencoba mempertantangkan antara aturan agama dan kesehatan dengan menyatakan “Halal Haram Urusan Agama, Obat-Obatan Urusan Nyawa Manusia” (sumber : republika). Seolah olah menyimpulkan bahwa produk haram lebih menjamin kesehatan.

Majalah TEMPO bahkan melakukan fitnah yang keji dengan menyatakan bahwa MUI menerima 820 Milyar dari Dewan Sertifikat Makanan Halal Eropa atau Halal Food Council of Europe (HFCE) untuk menggiring opini publik bahwa MUI menjadikan sertifikat halal hanya sebagai sarana mendapatkan uang. Namun bantahan dari HFCE dan penjelasan dari MUI membuktikan bahwa TEMPO hanya mengarang berita.

Memang RUU Jaminan Produk Halal bukan hanya tentang halal dan haram saja, implikasi dari pelaksanaan RUU ini pasti akan berpengaruh kepada keuntungan melimpah perusahaan-perusahaan besar yang selama ini menghasilkan produk haram. Maka sangat pantas kalau berkembang asumsi ada upaya untuk menghalangi penetapan RUU Jaminan Produk Halal dengan upaya loby ke pemangku kebijakan serta fitnah di media. Jika ini benar maka masyarakat harus mampu menyuarakan dukungan agar RUU ini bisa segera disahkan.

Oleh : M Anantiyo Widodo, SE (Mantan Komisaris Kelompok Studi Ekonomi Islam Universitas Diponegoro) lihat profil

saya tulis juga di :
http://hukum.kompasiana.com/2014/03/01/dukung-penetapan-ruu-jaminan-produk-halal-menjadi-uu-636484.html
Keadilan itu berawal dari pikiran kita

Keadilan itu berawal dari pikiran kita


Allah berfirman dalam Al-quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)

Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa istilah yang digunakan untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).

Keadilan menjadi sebuah harapan yang sangat ingin diwujudkan, namun seringkali pula keadilan menjadi mudah disisihkan hanya karena ego, amarah dan kepentingan lain. Padahal tanpa sebuah keadilan mustahil masyarakat yang majemuk semacam di Indonesia bisa berdampingan dengan baik.

Banyak sekali kasus yang terjadi di negara kita yang mencontohkan begitu susahnya mendapatkan keadilan. Barangkali kita bisa mengingat kasus Prita Mulyasari yang begitu heboh hingga muncul gerakan koin untuk prita. Atau kasus Nenek Minah yang dipenjara karena dituduh mencuri 3 biji kakao.

Terlepas dari itu semua, tidak mungkin keadilan bisa terwujud hanya dengan melakukan tudingan kepada lembaga peradilan semacam kepolisian, kejaksaan, Kehakiman dan lainnya. Jika kita contohkan kasus sederhana proses tilang karena pelanggaran lalu lintas, banyak kejadian menunjukkan bahwa pelanggarlah yang lebih dulu berinisiatif untuk melakukan suap. Hal itu menjelaskan bahwa sebagian produk tindakan hukum yang melenceng melibatkan oknum masyarakat terlebih dahulu disamping oknum petugas.

Sebenarnya setiap orang selalu berhadapan pada pilihan antara berbuat adil atau tidak. Setiap diantara kita pasti akan selalu memberikan penilaian atas orang lain baik itu keluarga dekat, teman bahkan orang yang sebenarnya tidak kita kenal. Secara tidak langsung walaupun baru sebatas pikiran sesungguhnya kita telah mengambil keputusan tentang bagaimana kita menilai orang lain itu. Kadang kita berbuat tidak adil dengan terus menerus membenci seseorang walaupun dia berulang kali berbuat baik dan tetap bersama orang lain sementara ia selalu merugikan kita.

Maka keadilan itu akan terwujud mulai dari cara berfikir kita mengenai orang lain, pekerjaan dan segala aktifitas yang kita lakukan. Tentu kita harus yakin jika kita telah berbuat adil maka keadilan itu akan melindungi kita atas ijin Alloh SWT.

Oleh : Muhamad Anantiyo Widodo, SE (Sekretaris GEMA Keadilan Kabupaten Temanggung) / lihat profil

Senin, 03 Februari 2014

Balas Dendam Politik

Balas Dendam Politik



     Panggung media saat ini menjadi factor utama penentu pendapat masyarakat dalam melihat berbagai persoalan. Sangat khusus dalam politik, kebebasan pers telah mengubah pandangan masyarakat yang tadinya lebih suka asal guyub (bareng-bareng) tanpa didasari pertimbangan yang matang, kini mereka mulai berani mengambil pilihan yang berbeda.
       Ragam informasi media yang sampai kepada masyarakat memang semakin mendewasakan masyarakat Indonesia. Hanya sayangnya baik media ataupun penerima berita ternyata lebih suka dengan berita yang cenderung negatif. Buktinya berita berkaitan dengan korupsi, kecelakaan, infotainment yang mengumbar keburukan selebritis hingga pelecehan seksual mendapatkan rating yang tinggi.
       Dalam dunia perpolitikan tanah air, media juga lebih senang menampilkan sisi-sisi suram. Ketika sebuah partai melakukan kesalahan atau bahkan baru dituduh saja, dengan cepatnya media merespon dan langsung sigap menyebarkan hingga menjadi headline berhari-hari. Namun media jarang menampilkan berbagai kebaikan yang dilakukan oleh partai politik. Hal ini tentu berdampak pada penilaian masyarakat terhadap partai politik yang kemudian dianggap gagal. Pada akhirnya masyarakat kesulitan untuk menentukan sebuah pilihan yang harus mereka lakukan ketika pemilu berlangsung.
    Yang terjadi selanjutnya masyarakat akan menerapkan balas dendam politik karena merasa telah dikhianati oleh partai. Mereka akan melakukan aksinya ketika pemilu. Bukan dengan golput atau menolak pemilu, justru mereka akan melakukan deal-deal tertentu dengan partai atau orang-orang partai untuk mendapatkan keuntungan. Istilahnya “lebih baik memanfaatkan daripada hanya dimanfaatkan”. Maka politik uang seolah-olah menjadi boleh karena dilakukan di hampir semua tingkat di masyarakat, baik itu untuk kepentingan pribadi atau kepentingan bersama.
        Sangat ironi ketika semua itu terjadi. Padahal masyarakat harusnya memilih partai yang terbaik. Terbaik bukan berarti tanpa kesalahan, namun terbaik adalah yang mempunyai timbangan kebaikan lebih banyak.
Disinilah peran media dituntut untuk memberikan berita yang seimbang. Sikap nasionalisme pers jelas dipertaruhkan dalam hal ini, sebab boleh jadi nasib bangsa akan ditentukan oleh respon informasi yang diterima masyarakat.

Oleh : M Anantiyo Widodo, SE (Pengurus KNPI Temanggung) /  lihat profil