Pendidikan Menjawab Tantangan MEA : Refleksi menjelang hari Guru tahun 2015
Bersama Prof. Dr. Rosnani Hasyim, Dekan Fakultas Pendidikan IIUM, Malaysia di kantor beliau |
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau disebut juga ASEAN Economic Community (AEC) akan dimulai pada akhir Bulan
Desember tahun ini (2015). Dengan adanya MEA, maka akan terjadi arus mobilitas
barang, jasa serta tenaga kerja antarnegara di wilayah ASEAN yang berlangsung
secara bebas. MEA dirancang untuk menjadikan ASEAN sebagai satu kekuatan
ekonomi besar agar mampu bersaing dengan Cina dan India. Bersatunya negara-negara
di ASEAN dibutuhkan agar dapat menarik modal asing guna meningkatkan geliat ekonomi
dan pembukaan lapangan kerja baru.
Tujuan dibentuknya MEA sangat
bagus dan akan berdampak positif bagi negara-negara anggota ASEAN. Namun setiap negara harus siap dengan persaingan yang berlangsung. Pastinya, persaingan itu bisa
melumpuhkan pihak-pihak yang tidak siap dan kalah dalam kualitas. Sedangkan negara
tidak lagi bisa memberikan proteksi sepertihalnya sebelum berlangsungnya MEA.
Begituhalnya dengan persaingan
tenaga kerja. MEA menyebabkan tipisnya batas antar negara sehingga tenaga kerja
dari manapun se ASEAN bebas untuk keluar masuk sebuah negara di ASEAN guna
memperebutkan posisi dalam pekerjaan. Sebab, seiring dengan meningkatnya investasi akan diikuti dengan rekrutmen tenaga kerja yang akan ditentukan oleh
kebutuhan dan keuntungan yang diharapkan. Walaupun faktor budaya serta
kebijakan pemerintah tetap akan berpengaruh, nampaknya persaingan bebas tenaga
kerja antar negara tetap tidak bisa dihindari.
Kualitas tenaga kerja sangat
ditentukan oleh proses pendidikan yang berlangsung. Bongkar pasang kurikulum
sebagaimana yang terjadi di Indonesia menyebabkan kualitas hasil lulusan
lembaga pendidikan tidak merata. Kurikulum yang dipakai masih menjadikan
mata pelajaran sebagai tujuan pokok, bukan sebagai alat kecakapan hidup. Sebagai
contoh pelajaran IPS di SMP, siswa dibebani untuk menghafalkan pengertian nilai
dan norma sosial dari berbagai ahli, ciri-ciri, jenis dan macam, tujuan serta
hal-hal lainnya. Sedangkan kecakapan dalam melaksanakan nilai dan norma
terlupakan. Akibatnya,
pelajaran IPS yang seharusnya mampu memberikan bekal hidup bermasyarakat tidak
bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Ketika berkesempatan ke
Malaysia pada bulan Desember 2014, saya melihat negara ini sangat siap
menghadapi MEA. Tenaga kerja dari berbagai negara sudah memenuhi
berbagai ruang pekerjaan disana. Sedangkan warga Malaysia tidak merasa tersaingi yang
berarti mereka sudah mapan dengan posisinya.
Saat itu kami dijemput oleh mas
Zulfan Haidar, beliau direktur akademik IIUM Lower Education Malaysia yang
membawahi beberapa sekolah mulai dari PAUD hingga SMA. Sekolah sekolah ini
walaupun dibawah IIUM (International Islamic University of Malaysia) namun
menggunakan kurikulum Cambridge dan menerima siswa non Muslim dari berbagai negara.
Yang menarik mas Zulfan Haidar
adalah warga Negara Indonesia. Sempat saya bertanya tentang kualitas pendidikan
di Malaysia yang di Indonesia masih sering diremehkan. Jawab beliau “lihat saja
kehidupan orang Malaysia, mengenai kedisiplinan, kebersihan dan etos kerja nya.
Jika lebih baik maka berarti hasil pendidikan disini –Malaysia- lebih bagus”.
Memang di Kualalumpur dan sekitarnya, masyarakat nampak sangat terbiasa antri,
menjaga kebersihan dan bekerja sesuai waktunya.
Satu hal yang secara jelas
memperlihatkan lulusan Indonesia kalah dengan Malaysia adalah dalam penguasaan
bahasa asing terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Jika lulusan
S1 Indonesia sebagian besar masih kesulitan menggunakan bahasa Inggris, lulusan
SD di Malaysia sudah cukup mahir untuk menggunakannya. Padahal penguasaan
komunikasi menjadi syarat penting dalam pertarungan global.
Membandingkan Indonesia dengan
Malaysia bukan untuk sekedar menghasilkan kesimpulan bahwa murid Indonesia itu
sudah lebih baik daripada gurunya. Namun yang paling utama adalah bahwa
Indonesia harus berbenah. Bagaimanapun MEA sudah diputuskan untuk dijalankan
mulai tanggal 31 Desember 2015. Indonesia bahkan menjadi inisiator untuk
mempercepat MEA yang sedianya dilaksanakan tahun 2020.
Tentunya persaingan yang akan
berlangsung tidak akan terjadi dengan seketika, walaupun akhir tahun ini sudah
berjalan. Sebab masing-masing pihak akan mengukur diri, menyesuaikan dan
berhati-hati untuk bertindak. Berarti kita masih punya waktu untuk memperbaiki
setiap hal yang kurang.
Salah satu tugas dari institusi pendidikan adalah mempersiapkan anak didiknya agar mempunyai kemampuan dan keberanian untuk bertarung. Disinilah peran guru dibutuhkan. Apapun keputusan pemerintah
berkaitan dengan kurikulum ataupun kebijakan lainnya semestinya tidak membuat
dunia pendidikan mengalami stagnasi. Sebab dalam pelaksanaannya, guru tetap
diberikan fleksibilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah peserta
didiknya. Memang sangat disayangkan gema MEA belum bergaung di kelas-kelas,
ataupun jika sudah, getarannya sangatlah kecil.
Menjelang hari guru tahun 2015
ini, para guru harus bangkit semangatnya. Bangsa ini membutuhkan para guru
untuk memberikan motivasi, kemampuan, kecakapan, dan keterampilan bagi
putra-putra bangsa untuk memenangkan setiap pertarungan. Para guru harus
menjawab tantangan MEA dengan optimisme bahwa Indonesia pasti mampu berbuat,
bukan sekedar untuk bertahan namun untuk meraih kemenangan.
Oleh : Muhamad Anantiyo Widodo, SE (Kepala SMP IT Cahaya Insani Temanggung)
Oleh : Muhamad Anantiyo Widodo, SE (Kepala SMP IT Cahaya Insani Temanggung)
Tags : Pendidikan
anantiyo
Pencari Inspirasi
Hikmah atau inspirasi adalah kekayaan yang menghidupkan akal, memperkuat insting kebijakan, dan mengkaryakan bakat .
- anantiyo
- M Anantiyo Widodo
- anantiyo_widodo
- anantiyo.widodo@gmail.com
- Anantiyo Widodo
Posting Komentar